Pengenalan saya akan Yesus Sang Guru dan Sahabat sejati berawal sejak masih kecil, setiap malam ibu membacakan cerita-cerita dari Babad Suci (Kitab Suci bergambar bahasa jawa) terutama kisah Yesus. Mungkin saat itu saya merasakan getar-getar awal iman dan panggilan. Getar-getar iman dan panggilan itu terus tumbuh dengan kebiasaan saya diajak ekaristi ke Gereja dan tidak boleh bermain tetapi memperhatikan dan berdoa. Pada perayaan ekaristi itulah saya sering merasa kagum dan terkesan dengan romo yang memimpin ekaristi, lebih-lebih saat romo mengangkat roti dan piala. Getar-getar iman dan panggilan terus tumbuh, apalagi saya sering diajak ke pasturan stasi dan diberi makanan atau buah-buahan oleh seorang romo paroki. Getar-getar itu makin kuat ketika saya menjadi misdinar, sempat terbayang saya ingin menjadi seorang romo. Meski bayangan itu sempat memudar, tetapi akhirnya muncul lagi ketika saya kelas 3 SMP. Sehingga akhirnya saya memutuskan untuk masuk Seminari Menengah Mertoyudan.
Saya tidak menyangka dapat diterima di Seminari Menengah Mertoyudan. Padahal waktu tes IQ, saya hanya memperoleh nilai C, dan ketika wawancara saya menjawab pertanyaan apa adanya tanpa ada jawaban yang suci atau mulia. Seperti ketika ditanya “apa motivasimu masuk seminari?”, saya menjawab “ingin jadi romo”. Lalu pertanyaan berikutnya, “mengapa kamu ingin jadi romo?”, saya menjawab “karena jadi romo enak, nyaman, bawa mobil, banyak makanan, dan banyak teman”.
Tetapi saya sungguh bersyukur dapat diterima di Seminari Menengah Mertoyudan. Selama 4 tahun saya menjalani formatio untuk mengolah benih-benih panggilan itu. Selama 4 tahun itu pula saya mengalami dinamika pengolahan panggilan. Sempat saya merasa minder dengan teman-teman, baik karena kemampuan intelektual atau kemampuan bakat, saya merasa tidak memiliki apa-apa. Selain itu pengalaman rutinitas di seminari, tuntutan seminari, dan gesekan yang terjadi dengan teman, membuat saya berpikir bahwa ternyata menjadi imam tidaklah mudah. Perasaan ini kadang memunculkan pertanyaan, apakah saya layak menjadi imam? Sehingga sempat muncul keraguan, apakah saya akan terus melanjutkan atau tidak.
Di Seminari Menengah, mulai ada gambaran tentang gaya hidup dan bagaimana menjadi imam yang sederhana dan rela melayani. Saya mendengar sorotan imam projo yang mengatakan bahwa imam projo bisa kaya. Namun, hal ini justru menggerakkan saya untuk memilih imam projo dan menghayati kesederhanaan. Bukan untuk membuktikan bahwa projo itu tidak seperti yang dibicarakan umat, tetapi saya merasa bahwa imam projo sungguh ambyur di tengah-tengah umat.
Maka pada akhir pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan, saya memutuskan untuk bergabung dengan imam diosesan Keuskupan Agung Semarang. Motivasi saya waktu itu sederhana, karena saya umat yang dibesarkan di Keuskupan Agung Semarang dan paling tidak sedikit tahu tentang gambaran umat di Keuskupan Agung Semarang, maka saya ingin mengabdikan diri untuk Keuskupan Agung Semarang. Motivasi lain adalah supaya saya masih bisa dekat atau berelasi dengan keluarga.
Selama satu tahun di Tahun Rohani Jangli Semarang, saya semakin diteguhkan dengan keputusan untuk bergabung dengan imam diosesan Keuskupan Agung Semarang. Apalagi dengan intensnya pengolahan rohani dan pendampingan anak pinggiran. Hal ini semakin menguatkan gambaran imamat yang sederhana dan rela melayani.
Ketika saya sering main ke paroki-paroki selama liburan, tumbuh suatu gambaran baru yaitu sosok imam yang membumi (yang mengenal situasi dan kondisi umat tempat ia diutus, yang dengan rendah hati melayani dan bertanggung jawab terhadap perutusannya, dan yang mau bekerja sama). Namun sering saya bertanya, apakah saya dapat memenuhi gambaran imamat semacam itu? Sedangkan pada kenyataannya saya terkadang tidak peka terhadap situasi dan pilih-pilih dalam tugas. Pertentangan ini kadang membuat saya ragu, apakah saya bisa menjadi imam yang sungguh membumi untuk Keuskupan Agung Semarang?
Gambaran atau ideal imam yang membumi ini mendapat ujian dan peneguhan ketika saya menjalani masa orientasi pastoral di Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Semarang. Sebenarnya saya mendambakan orientasi pastoral di paroki, tetapi justru mendapatkan tugas belajar di tempat yang asing. Meski demikian, saya berusaha menjani masa orientasi pastoral dengan baik. Saya mencoba belajar rendah hati, belajar bekerjasama, belajar memiliki visi dan misi yang jelas, belajar bertanggung jawab meski kadangkala tidak mengenakan. Dengan jatuh bangun, saya belajar menghayati gambaran imamat yang membumi. Dan dari masa orientasi pastoral inilah, gambaran imamat saya semakin diteguhkan.
Pada awal saya masuk Seminari Tinggi, saya merasa bahwa Tuhan memanggil, mengajak saya untuk melihat, ikut, dan tinggal bersama-Nya (Yoh.1:39). Spirit inilah yang memberi saya kekuatan dalam menghayati hidup panggilan, selain kata-kata Paulus yang selalu teringat semenjak saya masuk Seminari Menengah Mertoyudan: “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” (Rom.12:12). Dalam perjalanan panggilan ini, saya merasa Tuhan Yesus tidak hanya sekedar mengajak untuk ikut dan tinggal, tetapi saya diajak untuk bertolak lebih dalam “Duc in Altum” sebagai persiapan untuk menjadi penjala manusia (Luk.5:3-10). Saya diajak semakin menghayati ketaatan, kesederhanaan, dan kemurnian, yang mana tantangannya semakin hebat ketika semakin naik tingkatannya terutama di zaman ini.
Tidak hanya itu, semangat “Duc in Altum” semakin diperjelas dengan banyaknya informasi yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan tuntutan imam-imam KAS, seperti imam yang happy, committed, dan profesional; imam yang memiliki tanggung jawab sejarah; imam yang tertib administrasi; imam yang murah hati; imam yang taat asas; imam sebagai teladan umat, sampai imam sebagai warga negara yang baik, dan imam yang suci. Meskipun kadang terasa berat, tetapi saya bersyukur atas semua yang saya jalani. Yesus sahabat dan Sang Guru yang memanggilku untuk melihat, ikut dan tinggal bersama-Nya selalu mengajakku untuk bertolak semakin dalam agar aku semakin siap untuk diutus menjadi penjala manusia (Luk.5:11) dan menggembalakan “domba-domba-Nya”. (Yoh.21:15-19)
Yohanes Triwidianto, Pr.