Waktu kecil, saya sering memanjat pohon sawo depan rumah untuk mengagumi pemandangan sawah dan bukit Gunung Polo yg indah. Di atas pohon, saya bisa melihat siapapun yang lewat di bawah tanpa ketahuan. Di antara dahan dan dedaunan, saya menemukan dunia saya sendiri, karena di dunia nyata, saya hanyalah anak perempuan, gendut, berkulit gosong, jelek, anak orang miskin, tidak pandai, dan tdk memiliki kelebihan apapun yang bisa dibanggakan.
Begitulah hidup saya sebelum terlibat dalam pelayanan gereja (menjadi lector, asisten kaling, guru PIA, pengurus lingkungan, dan prodiakon): seperti orang yang melihat peristiwa berlalu dari atas pohon. Saya duduk manis menjadi pengamat dan penikmat misa, sesekali menjadi penghujat jika petugas tidak sigap. Tetapi jika diminta bertugas, saya sudah menyiapkan segudang alasan mengapa tidak bisa terlibat. Alasan yang paling utama sebenarnya adalah: saya tidak merasa layak. Saya tidak pandai, tidak terampil, tidak cakep, tidak kaya, tidak menarik, tidak suci, dan tidak-tidak yang lain. Siapalah saya ini? Biarlah saya cukup menjadi penonton saja. Toh pekerjaan saya di kampus sudah cukup membuat pening kepala saya, mosok mau nambah-nambah pelayanan. Kurang kerjaan saja. Lebih enak ‘memanjat pohon’ dan menikmati misa dari jauh.
Sampai suatu saat saya studi di Canberra, di mana gereja kecil kampus sudah ditinggalkan umat lokalnya. Romonya berasal dari Vietnam, Pater Peter Huang namanya. Umat hanyalah para lansia, beberapa mahasiswa lokal, dan mahasiswa Asia dan Afrika yang merindukan Tuhan di negeri yang jauh. Petugas liturgy diminta dari umat yang bersedia. Ketika diminta menjadi lector, bahkan beberapa kali menjadi penyanyi mazmur, beberapa kali saya menolak dengan berbagai alasan. “Saya tidak layak, Pater. Bahasa Inggris saya medok, Pater. Saya gak bisa nyanyi, Pater. Suara saya jelek sekali, Pater.” Pater Huang menatap saya dan berkata: “Tuhan memanggilmu. Ia hanya melihat hati. Nanti malaikat yang akan melayakkanmu dan menyempurnakan persembahanmu.” Saya akhirnya setuju. Dalam kotbahnya, Pater mengatakan: “Berikanlah dirimu kepada Tuhan. Kamu masih hidup? Masih bernapas? Bagus! Marilah menjadi berkat. Mumpung masih sehat, masih hidup, masih bernapas, mari melayani Tuhan dan sesama.” Nyindir apa nampar, nih? Selama dua tahun di sana, saya membaca Kitab Suci dan menyanyikan mazmur dengan gembira. Selama itu, puji Tuhan, tidak ada kaca-kaca yang pecah karena suara saya yang cempreng.
Meskipun sudah lama terlibat di kegiatan gereja, ketika disuruh menjadi prodiakon, perasaan lama muncul lagi. Mental Zakeus saya tumbuh lagi. Layakkah saya membagikan Tubuh Kristus yang sedemikian kudus? Layakkah saya membuka Tabernakel suci? Layakkah saya berpakaian putih padahal hidup saya sering penuh dosa? Layakkah..? Layakkah aku? Suara Pater Huang terngiang lagi. “Mumpung masih sehat, masih hidup, masih bernapas, mari melayani Tuhan dan sesama.”
Dengan keberanian itu, saya memulai tugas sebagai prodiakon dengan membagikan Tubuh Kristus kepada umat selama misa dan mengirim komuni kepada umat yang sakit. Ketika bersujud dan membuka tabernakel untuk mengambil hosti untuk pertama kali, tiba-tiba saya merasakan keharuan dan getaran perasaan aneh yang luar biasa yang membuat saya ndeprok bercucuran air mata di depan tabernakel. Saya merasa seperti Zakeus yang sangat ingin melihat Yesus dari atas pohon secara sembunyi-sembunyi, dan terkejut mendapati Yesus mendongak menatapnya dan berbicara langsung kepadanya: “Zakheus, segeralah turun sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu”. Seribu satu perasaan yang tidak bisa saya definiskan berkecamuk dalam diri saya ketika saya ndeprok di depan tabernakel. Setelah menangis beberapa saat, baru saya menyadari perasaan apa itu. Perasaan DICINTAI dengan begitu besarnya. Ya, saya dicintai. Yesus, siapalah aku ini, mengapa Engkau mau mencintai aku yang tidak berharga ini? Mengapa Engkau mau membiarkan tanganku yang penuh dosa ini menyentuh Tubuh Kudus-Mu? Mengapa Engkau mau menumpang di rumahku, di hatiku yang diliputi dosa dan nafsu? Dengan salib-Mu, Engkau telah merendahkan diri sedemikian rupa dan mengangkatku serta menganggapku layak. Puji syukur pada-Mu, Tuhan. Ambil tisu dulu.
Saya tidak pernah bercita-cita menjadi prodiakon karena memang tidak pernah merasa layak untuk itu. Tetapi, Tuhanlah yang melayakkan saya menjadi prodiakon. Hidup tidak menjadi otomatis mudah setelah menjadi prodiakon, tetapi seperti kata Romo Tri dan Romo Budi: “Ayem mawon.” Masih banyak kesalahan yang saya lakukan ketika bertugas, entah salah ucap doa, salah nyanyi, lupa membawa kain purifikatoris, dan lain-lain, tetapi saya tetap bertahan, seperti pesan Romo Budi.
Dan seperti Zakeus, yang berkata: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat,” sayapun berniat untuk memberikan diri saya, harta saya, talenta, waktu, dan semua yang bisa saya berikan agar nama Tuhan dipermuliakan. Tidak muluk-muluk dengan masuk Serikat Jesus atau Ordo Carmelite, tetapi melalui pelayanan sehari-hari, seperti yang disarankan oleh Romo Budi di Salam. Mencari wajah Tuhan dalam segala hal dan peristiwa sehari-hari. Tuhan telah menerima saya apa adanya, dengan segala cacat dan cela. Sedemikian besar cinta Tuhan kepada saya yang hina ini, sampai Ia rela singgah di hati saya. Sukacita itu membuat saya buru-buru turun dari pohon dan berjalan bersama-Nya dengan riang gembira. Berkat ini sungguh luar biasa.
Laurentia –Zakiah- Sumarni
Marianita
Menangis haru membaca tulisan ini.. 😭😭