“Apa Tulus itu beriman atau tidak?”
Itulah pertanyaan Rm. Purwawidyana yang tidak akan pernah saya lupakan. Kedengaran sangat lucu, tapi memang demikianlah halnya. Hingga pada akhirnya saya mampu menangkap bobot arti sepenuhnya bahwa perjalanan imamat adalah perjalanan iman itu sendiri. Menjadi imam tidak lantas berubah menjadi manusia super yang mrantasi semua hal.
Saya harus nibo-tangi untuk betul-betul sampai pada makna tersebut. Tuhan mendidik saya dengan banyak pengalaman jatuh bangun. “Kowe ki yen durung ketanggor ora ndalan”, begitu kata ibu saya suatu kali. Cara Tuhan nggulawentah saya sedemikian menggemaskan. Jujur, saya memang termasuk formandus yang split.
Sampai saat ini, saya merasa ada banyak hal yang berubah pada romantisme awal ketika saya tertarik menjadi romo. Saya menyingkatnya dengan 5F, yaitu father (sosok mengesan pada Rm. Stormmesand, SJ), frame (pengondisian di sekolah dan misdinar), facility (menjadi imam itu terjamin rohani sekaligus jasmani), fame (saya ingin terkenal) dan family (dukungan keluarga). Lima motivasi itulah yang menggerakkan saya. Hinggaa pada titik tertentu saya disadarkan bahwa ada satu F yang sebetulnya mendasari itu semua, yaitu FAITH (iman).
Inilah yang melegakan saya secara rohani. Kisah kemuridan Nathanael sangat inspiratif bagi saya (Yoh 1:43-51). Ternyata sekian lama saya menggulirkan panggilan saya, lebih dengan rasa kecil daripada jiwa besar. Pencerahan dianugerahkan oleh Tuhan sendiri, “Kamu akan melihat hal-hal yang lebih besar” (Yoh 1:50).
Rm Tulus Sudarto, Pr