Ekaristi adalah ‘dekapan’ Allah yang menyatukan
Jika anda sudah menikah dan punya anak-anak kecil, anda pasti dapat memahami perasaan indah yang tak terlukiskan ini: Anak anda menghampiri anda, tanpa rengekan, tanpa tangisan, memeluk dan mencium anda. Anda akan merasakan kasih yang begitu dekat yang mempersatukan anda berdua. Jika suatu hari anda mengalami hal ini, entah dengan anak anda, keponakan atau cucu anda, bayangkanlah bahwa Tuhan sengaja memberikan pengalaman tersebut, supaya anda dapat sedikit membayangkan bagaimana perasaan Tuhan jika anda datang kepada-Nya seperti anak kecil itu. Hati-Nya melimpah dengan kasih dan suka cita, karena memang Dia selalu menantikan kesempatan ini; yaitu membawa anda ke dalam dekapan-Nya untuk bersatu dengan Dia. Oleh kuasa Roh Kudus, dekapan ini mempersatukan kita dengan Allah sendiri, seperti yang terjadi di dalam Ekaristi, saat Ia, Sang Ilahi, merendahkan diri untuk merangkul dan mengangkat kita, manusia yang dari ‘debu’ ini, agar kita beroleh hidup ilahi. Kita manusia yang berdosa tidak dapat, oleh usaha sendiri, menjadi kudus, kalau bukan Allah sendiri yang menguduskan kita.
Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani
Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani. Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani yang bergerak ke arah ‘persatuan yang semakin erat dengan Kristus’ (KGK 2014) akan mencapai puncaknya pada Ekaristi yang adalah Kristus sendiri. Kristus hadir di dalam Ekaristi, sesuai dengan janji-Nya pada saat meninggalkan warisan Ekaristi pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya. Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan-Nya dan menjadi satu Tubuh (lih. KGK 1329). Jadi, Ekaristi merupakan Perjanjian Baru dan Kekal yang menjadi dasar pembentukan Umat pilihan yang baru, yaitu Gereja. [1] Di dalam Ekaristi kita melihat cerminan liturgi surgawi dan kehidupan kekal di mana Allah meraja di dalam semua (lih. KGK 1326). Dengan menerima Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan melalui Dia, kepada Allah Tritunggal, sebab Ekaristi adalah kenangan kurban Yesus dalam ucapan syukur kepada Allah Bapa, oleh kuasa Roh Kudus (lih. KGK 1358). Jadi dengan menerima Ekaristi, Tuhan tidak saja hanya hadir, tetapi ‘tinggal’ di dalam kita sehingga kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi, kehidupan yang memberikan kita kekuatan untuk mencapai kesempurnaan kasih yang diajarkan oleh spiritualitas Kristiani, yaitu ‘mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama’.
Sekilas tentang Spiritualitas Kristiani
Spiritualitas secara umum adalah jalan untuk memahami keberadaan dan kehidupan manusia yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya.[2] Di dalam agama Kristiani, ‘jalan’ tersebut bukanlah berupa peraturan- peraturan, tetapi berupa ‘Seseorang‘. Dan ‘Seseorang’ ini adalah Yesus Kristus, yaitu Allah yang menjelma menjadi manusia. Dengan kata lain, Spiritualitas Kristiani tidak diawali dengan ide gambaran tentang Allah, melainkan di dalam iman akan Sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:14), yaitu Yesus Kristus. Kristuslah pemenuhan Rencana Keselamatan yang dijanjikan Allah. Karena itu, kehidupan Spiritualitas Kristiani berpusat pada Kristus.
Pertumbuhan spiritual dicapai dengan mengambil bagian dalam Misteri Kristus
Kristuslah perwujudan Spiritualitas Kristiani, sehingga sangat wajar jika kita ingin bertumbuh secara spiritual, kita harus mengambil bagian di dalam ‘Misteri Kristus’, sehingga kehidupan spiritual kita merupakan bagian dari kehidupan yang Yesus miliki bersama dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Dengan demikian kita diangkat menjadi anak-anak Allah.[3] Keikutsertaan kita di dalam Misteri Kristus dinyatakan jika kita berpartisipasi di dalam Misteri Paska Kristus -yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan Kenaikan-Nya ke surga.[4] Misteri Paska ini dihadirkan di dalam liturgi Gereja Katolik (lih. KGK 1085).
Misteri Paska Kristus adalah pernyataan Kasih Tuhan yang terbesar
Tuhan adalah Kasih (1 Yoh 4:16) dan belas kasih adalah sifat Allah yang terbesar. Dalam belas kasih-Nya Allah ingin mengembalikan hubungan kasihNya dengan manusia yang telah dirusak oleh dosa. Untuk itulah Kristus datang ke dunia, untuk menyatakan belas kasihan Tuhan yang terbesar melalui Misteri Paska-Nya, yang menjadi bukti kasih Tuhan pada manusia yang lebih kuat dari pada dosa dan maut. Allah tidak menyayangkan Yesus Putera-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita (Rom 8:32), para pendosa. Jadi, alasan Kristus untuk datang ke dunia adalah untuk wafat bagi kita; dan karena itu layaklah jika Ia mewariskan kenangan wafat-Nya itu, yang menjadi Perjanjian Baru dan Kekal antara kita manusia dengan Tuhan.
Di sini ‘perjanjian’ atau ‘covenant/ convenire (Latin)’ memiliki arti yang lebih dalam daripada sekedar kontrak. Perjanjian ini tidak menandai pertukaran harta milik, tetapi pemberian diri dalam relasi kasih, yang berlaku untuk selamanya.[5] Sejak kejatuhan Adam sampai kedatangan Kristus, Allah telah membuat perjanjian dengan bangsa Israel (‘the People of God’) melalui para bapa bangsa dan para nabi. Perjanjian ini (disebut Perjanjian Lama) ditandai dengan kurban penyembahan terhadap Tuhan dan kurban penebus dosa (Im 9:23) yang dipersembahkan melalui para imam (Kel 10:25-26). Melalui kurban ini, manusia diampuni dan dimampukan kembali untuk mengasihi Allah. Kurban inilah yang diteruskan oleh Gereja (‘the New People of God’) sebagai Perjanjian Baru dan Kekal di dalam Ekaristi -yang menjadi tebusan dosa manusia sampai akhir jaman. Ekaristi menjadi tanda belas kasihan Allah yang dinyatakan kepada Gereja dan melalui Gereja kepada segenap umat manusia.
Bagaimana Gereja menghadirkan Misteri Paska Kristus
Karena Misteri Paska merupakan hal yang terutama dalam Rencana Keselamatan Allah, maka Ekaristi yang menghadirkan Misteri Paska ini menjadi hal yang terutama dalam Gereja. Di dalam liturgi, Misteri Paska dihadirkan kembali karena jasa kebangkitan Kristus dan kuasa Roh Kudus. Di dalam liturgi, terutama Ekaristi, rahmat dicurahkan untuk pengudusan kita dan kemuliaan Tuhan,[6] yang keduanya merupakan tujuan kehidupan spiritual kita. Jadi keikutsertaan kita di dalam liturgi, terutama dalam Ekaristi, adalah sesuatu yang sangat penting untuk pertumbuhan rohani kita, karena di dalam Ekaristi kita menerima rahmat pengudusan yang membuat kita mampu mencapai kepenuhan hidup, oleh karena kita dapat masuk dalam hubungan kasih yang mendalam dengan Allah.
Makna Liturgi Ekaristi
Di dalam kurban Ekaristi, para anggota Gereja menyatukan diri mereka dengan Kristus, Sang Kepala, untuk mempersembahkan pujian dan syukur kepada Allah Bapa. Di sini Kristus menjadi sekaligus Imam dan Kurban. Kata “Ekaristi” sendiri berarti ‘ucapan terima kasih kepada Allah’ (Lih. KGK 1328), dan sesungguhnya adalah doa Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Keikutsertaan kita dalam doa Yesus yang disampaikan kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus adalah liturgi, (lih. KGK 1073) sehingga liturgi adalah suatu tindakan Yesus sebagai Kepala dan Gereja sebagai TubuhNya.[7] Yesus yang sungguh hadir di dalam liturgi Ekaristi, mengubah roti dan anggur oleh kuasa Roh Kudus menjadi Tubuh dan DarahNya, melalui perkataan-Nya yang diucapkan oleh imam, “Inilah TubuhKu, yang diberikan bagi-Mu…Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu (Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Lk 22:19-20).
Dengan mengambil bagian di dalam doa ini, kita menaikkan pikiran dan hati kepada Tuhan, dan di dalam iman, kita menerima rahmat yang tak terhingga, yaitu Kristus sendiri di dalam rupa hosti kudus, (lih. KGK 2559, 1373) yang menguduskan kita. Dengan demikian kita mengalami kepenuhan doa sebagai karunia Tuhan. Kita memberi kemuliaan kepada Tuhan, tidak hanya dengan menerima karunia itu, tetapi juga dengan memberikan diri kita kepada Tuhan, dalam arti kita ‘berdoa di dalam Roh’ (Ef 6:18) untuk menghidupkan di dalam batin kita kasih Bapa yang dinyatakan dalam Kristus untuk mendatangkan keselamatan bagi kita (lih. KGK 1073). Dengan Allah sendiri yang hidup di dalam kita, maka kita menjadi sungguh-sungguh ‘hidup’. Inilah yang disebut kemuliaan Tuhan.
Di dalam Ekaristi, kita menjadikan Karya Keselamatan Allah sebagai bagian dari diri kita sendiri, karena kita mempersatukan diri dan dipersatukan dengan Kristus yang menjadi Kurban satu-satunya yang dipersembahkan kepada Allah- yaitu Kurban yang menyelamatkan umat manusia.[8] Dengan demikian, liturgi Ekaristi menjadi sumber doa dan tujuan doa kita. Karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai puncak kehidupan Gereja, kesempurnaan kehidupan rohani dan arah tujuan dari segala sakramen Gereja (lih. KGK 1374).
Ekaristi mempersatukan kita dengan Kristus terutama dalam penderitaan kita
Doa menghantar seseorang kepada persatuan dengan Tuhan, sehingga ia dapat memiliki kehendak yang sama dengan kehendak Tuhan. Di dalam persatuan ini, Kristus bersatu dengan tiap-tiap orang, terutama mereka yang menderita. Di dalam Kristus, penderitaan manusia memperoleh arti yang baru yang berarti “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol 1:24). Maksudnya adalah, karena Gereja sebagai Tubuh Kristus terus berkembang di dalam ruang dan waktu, maka penderitaan Kristus yang menyelamatkan juga dapat terus berkembang dan dilengkapi oleh penderitaan manusia.[9] Di dalam penderitaan, manusia diajak untuk beriman lebih dalam, dengan cara mengubah pengertian kita tentang kebahagiaan untuk disesuaikan dengan kebahagiaan menurut pengertian Allah.
Prinsip kebahagiaan adalah: Allah ingin bersatu dengan kita. Jika kitapun demikian, dan menerima hal persatuan dengan Allah sebagai kebahagiaan kita, maka penderitaan atau kesenangan tidak menjadi masalah bagi kita. Sebaliknya, kita dapat menerima penderitaan kita, karena kita mengetahui bahwa di dalam Kristus, hal itu mendatangkan keselamatan bagi kita sendiri, bagi orang lain dan bagi semua orang berdosa secara umum.[10] Jadi penderitaan di dunia terjadi untuk mendatangkan kasih,[11] dan kasih yang memperbaiki dunia yang penuh dosa adalah keselamatan. Maka penderitaan berhubungan erat dengan keselamatan.
Ekaristi juga mengingatkan kita bahwa tidak ada Keselamatan jika tidak ada Salib; dan di dalam Kristus semua salib kita menyumbangkan arti bagi Keselamatan. Di dalam Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan ikut ambil bagian di dalam penderitaan-Nya agar dapat pula mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya.
Ekaristi adalah contoh kerendahan hati Kristus
Di dalam Ekaristi, Kristus menyatakan pemenuhan janjiNya ketika berkata, “Akulah Roti Hidup yang telah turun dari sorga. Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya… Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:35,51,54,57). Dengan mengambil rupa roti, Yesus membuat Diri-Nya menjadi sangat kecil, meskipun sesungguhnya, bahkan surga-pun tidak cukup untuk memuat DiriNya. Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi seorang hamba… sama dengan manusia. Dan… sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, dan sampai mati di kayu salib (Flp 2: 5-8).
Di dalam kerendahan hati-Nya, Dia menanggung penghinaan untuk dosa yang tidak pernah Dia lakukan. Sekarang, setelah Dia bangkit dari mati, Dia merendahkan diri secara lebih lagi, dengan mematuhi perkataan para imam-Nya, dan hadir di dalam rupa hosti, agar Dia dapat tinggal bersama kita untuk menghantar kita ke hidup yang kekal. Di dalam Ekaristi, Yesus mengajar kita tentang hal kemiskinan dan kerendahan hati. Dia mengambil rupa roti untuk dipecah dan dibagi-bagi, agar Ia dapat hadir ‘di dalam batas sebuah partikel yang kecil’[12] – hanya untuk menunjukkan bahwa Dia mau melakukan apa saja, untuk menyatakan betapa Dia mengasihi kita. Yesus yang sempurna merendahkan diri-Nya sampai ke titik ter-rendah, supaya kita yang rendah ini dapat dibawa kepada kesempurnaan Tuhan, dengan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya. Ia menjadi contoh bagi kita, supaya kita-pun mau berkurban untuk orang lain, supaya mereka dapat pula mengambil bagian di dalam kehidupan Allah.
Ekaristi membimbing kita kepada pengetahuan akan Tuhan, sebab di dalamnya kita melihat belas kasihan Allah dan kuasa Allah yang dinyatakan lewat perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus untuk menyelamatkan kita. Pada saat yang sama, kita dipimpin untuk sampai pada pengetahuan akan diri kita sendiri, sebab kita diingatkan akan dosa-dosa kita yang telah menyebabkan Dia wafat di Salib. Sungguh, Ekaristi merupakan contoh sempurna tentang kerendahan hati, yang menjadi dasar dari segala nilai-nilai kebijakan dalam Spiritualitas Kristiani.[13] (Lihat artikel: Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan menuju Kekudusan) Ekaristi menyatakan dua kebenaran kepada kita: bahwa kita ini pendosa, namun sangat dikasihi oleh Tuhan. Dengan demikian, kita dapat belajar untuk dengan rendah hati menerima Dia yang sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, dan bahwa Ekaristi adalah cara Allah untuk mengasihi kita dan menyelamatkan kita.
Ekaristi membawa pada pertobatan yang terus menerus
Belas kasihan Tuhan yang dinyatakan di dalam Ekaristi membawa pertobatan, yang artinya ‘berbalik dari dosa menuju Tuhan’. Hal ini disebabkan karena kita tidak dapat bersatu dengan Tuhan yang kudus, jika kita tetap tinggal di dalam dosa. Pertobatan yang diikuti oleh pengakuan dosa yang menyeluruh adalah langkah pertama yang harus dibuat jika kita ingin sungguh-sungguh memulai kehidupan rohani. Langkah ini adalah pemurnian dari dosa berat (mortal sin).[14] Sakramen Ekaristi tidak secara langsung menghapuskan dosa-dosa berat ini, namun Ekaristi secara tidak langsung menyumbangkan pengampunan atas dosa-dosa tersebut.[15] Selanjutnya melalui Ekaristi, Tuhan memberikan rahmat pada kita agar kita sungguh-sungguh bertobat, ‘membenci’ dosa kita, dan hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, sebab Dia membantu kita untuk melepaskan diri dari keterikatan yang tidak sehat kepada dunia, yang menurut Santo Franciskus de Sales adalah ‘segala kecenderungan untuk berbuat dosa’. Di dalam Ekaristi, kita ‘melihat’ penderitaan Kristus, sebagai akibat dari dosa-dosa kita, sehingga kita terdorong untuk menghindari dosa tersebut. Dengan pertobatan ini, selanjutnya kita dapat bertumbuh dengan berakar pada Kristus (lih. KGK 1394).
Ekaristi adalah Sakramen Kasih yang mempersatukan
Di atas segalanya, Ekaristi adalah sakramen Kasih. Ekaristi adalah tanda Kasih, yang disebut oleh Gereja sebagai agape, atau pax (damai). Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan yang tak terbatas dan yang mengakibatkan dua jenis persatuan, yaitu persatuan dengan Tuhan melalui Kristus dan persatuan dengan sesama di dalam Kristus. Akibat dari persatuan ini adalah kasih yang tulus, yang menurut Santo Thomas adalah persahabatan antara manusia dengan Allah berdasarkan dengan kasih dan komunikasi dua arah, yang termasuk pemberian karunia kebahagiaan Tuhan kepada kita.[16] Dengan demikian, kebahagiaan Allah menjadi kebahagiaan kita. Hal ini membuat kita dapat melakukan perbuatan baik dengan siap sedia dan hati gembira, karena keinginan dan pikiran kita menjadi seperti keinginan dan pikiran Allah.
Ekaristi mendorong kita mengasihi sesama
Jelaslah, kasih kepada Tuhan mendorong kita untuk mengasihi sesama. Kristus telah memberikan perintah untuk mengasihi sesama sebagai perintah utama dalam kehidupan Kristiani, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi ” (Yoh 13:34-35). Kasih di sini adalah kasih yang ‘memberikan diri’ (self-giving), terutama kepada yang miskin dan menderita, seperti yang diceritakan di dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati. Di sini, orang yang miskin dan menderita, termasuk adalah mereka yang telah menyakiti hati kita dan mereka yang telah kita sakiti hatinya. Kasih mensyaratkan kita untuk melihat mereka sebagaimana Yesus melihat mereka, dan hanya rahmat Allah yang memungkinkan kita untuk melakukan hal ini. Jadi, Allah yang adalah Kasih, adalah sumber kekuatan bagi kita untuk mengasihi. Ekaristi sebagai sakramen kasih memberikan kepada kita rahmat pengudusan yang memampukan kita untuk bertindak sesuai dengan iman, pengharapan dan kasih; untuk memberikan hidup kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama, karena kasih kita kepada Tuhan.[17] Jadi kesempurnaan kasih bukanlah semata-mata tergantung dari usaha manusia, tetapi adalah karunia yang diberikan dari Allah.[18]
Ekaristi membawa perubahan
Akibat dari rahmat Ekaristi adalah ‘perubahan‘. Yesus bukan hanya mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan DarahNya, tetapi Dia melakukan sesuatu yang lebih dashyat lagi: Ia mengubah kita seutuhnya di dalam Dia dan mengisi kita dengan Roh Kudus yang sama yang membuat-Nya hidup. Dia mengubah keinginan kita untuk berbuat dosa menjadi keinginan untuk mengasihi. Dia mengubah kita, yang mempunyai keinginan hidup sendiri-sendiri menjadi keinginan untuk hidup dalam kebersamaan dalam damai. Sungguh, dengan menerima Ekaristi kita menjadi semakin dekat bersatu dengan Kristus (lih. KGK 1396), sehingga kita dapat terus menerus bertanya pada diri sendiri, “Apa yang akan dilakukan oleh Yesus, jika Ia ada di tempatku?”[19] Sikap ini akan membawa kita kepada jalan kekudusan, sebab kita terdorong untuk selalu mencari kehendak Tuhan di dalam segala sesuatu dan menyesuaikan diri kita dengan gambaran-Nya. Kita akan berusaha sedapat mungkin untuk mempergunakan segala kemampuan kita untuk memuliakan Tuhan dengan menyediakan diri bagi pelayanan kepada Tuhan dan sesama.[20] Ekaristi mengubah kita ‘dari dalam’ sehingga kita dapat bertumbuh dalam kesempurnaan kasih yang menjadi kesempurnaan hidup rohani. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup yang dicita-citakan oleh spiritualitas dicapai melalui pemberian diri kita di dalam Ekaristi, yaitu saat kita, bersama Yesus dan oleh kuasa Roh Kudus, mempersembahkan diri kita kepada Allah Bapa dan mengambil bagian dalam persatuan dengan kehidupan Allah Tritunggal Mahakudus. Di dalam Tuhan inilah kita dikuduskan.
Buah dari penerimaan Ekaristi tergantung dari sikap kita
Sungguh luas dan dalamlah makna Ekaristi dalam kehidupan rohani kita. Namun, buah dari penerimaan Ekaristi ini tergantung dari sikap kita. Semakin murni hati kita, semakin berlimpahlah rahmat yang kita terima. Sebab rahmat Tuhan yang berlimpah diberikan kepada kita di dalam Ekaristi, yang memberikan buah- buahnya yaitu: memperkuat persatuan kita dengan Allah (KGK 1391, 1396), meningkatkan dan memperbaharui rahmat Baptisan kita (KGK 1392), memisahkan kita dari dosa (KGK 1393-1395), mempersatukan kita sebagai tubuh Mistik Kristus (KGK 1396-1398). Oleh karena itu, kita harus menerima Ekaristi di dalam keadaan berdamai dengan Allah (tidak sedang dalam dosa berat) dan di dalam iman. Di dalam liturgi Ekaristi, pikiran kita harus bersatu dengan perkataan doa kita, dan kita harus bekerja sama dengan rahmat itu; jika tidak, kita menerimanya dengan sia-sia (lih. 2 Kor 6:1, KGK 1394)
Kita harus memiliki pikiran dan hati seperti Bunda Maria, yang mengambil bagian secara penuh di dalam Misteri Paska Kristus, dengan jawaban ‘YA’ yang total kepada Tuhan. Ia mempersembahkan dirinya seutuhnya kepada Allah- sambil menanggung penderitaan sebagai ibu, yang mencapai puncaknya pada saat ia melihat kesengsaraan dan kematian Anaknya di hadapan matanya sendiri, atas tuduhan dosa yang tidak pernah diperbuat oleh-Nya. Oleh karena itu, Bunda Maria menjadi teladan dalam hal iman, kasih dan persatuan yang sempurna dengan Kristus.[21] Dengan menyerahkan segala kehendak bebasnya kepada Allah, Bunda Maria memberikan contoh kepada kita untuk bekerjasama dengan Allah.
Kesimpulan
Ekaristi adalah, “sakramen kasih, tanda kesatuan, dan ikatan kasih”, sebuah Perjamuan Paska di mana Kristus dikurbankan, untuk mengisi kita dengan rahmat yang menghantar kita kepada kehidupan kekal.[22] Sebagai sakramen kasih, Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk mencapai kesempurnaan kasih yaitu kekudusan. Sebagai tanda kesatuan, Ekaristi menandai persatuan antara Tuhan dengan semua orang beriman (Gereja), dan melalui Gereja, dengan seluruh dunia. Sebagai ikatan kasih, Ekaristi mengarah pada persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Sebagai Perjamuan Paska, Ekaristi menggambarkan tujuan akhir kita di surga. Sungguh, Ekaristi menjadi ‘Surga di Dunia’. Oleh karena itu, Ekaristi menjadi sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani.
Kita harus bersatu dengan Kritus di dalam Ekaristi, jika kita ingin bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Dia; sebab Ia adalah sumber kekudusan dan guru kesempurnaan. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya,” kata Yesus, “dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (Yoh 15:5,8). Kita harus tinggal di dalam Kristus dan Gereja-Nya, yaitu Tubuh-Nya, supaya kita dapat berbuah, yaitu kekudusan di dalam kesempurnaan kasih, untuk memuliakan Tuhan.
Jadi, kekudusan tidak tergantung dari usaha kita semata-mata, tetapi adalah pemberian Tuhan. Di dalam Ekaristi, Tuhan memberikan kasih dan rahmat pengudusan-Nya kepada kita, yaitu pada saat kita berpartisipasi dengan aktif di dalamnya, dengan mengakui bahwa Ia adalah Tuhan, dan kita membiarkan Ia mengasihi kita dan memberikan rahmat-Nya kepada kita sesuai dengan cara yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya, kitapun memberikan segenap diri kita kepada Tuhan. Rahmat pengudusan Tuhan akan mengubah kita menjadi orang yang paling berbahagia, karena dapat memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Kita yang lemah dan berdosa dapat diubah Tuhan menjadi kudus, dan dimampukan oleh-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan kasih yang di luar batas pemikiran manusia. Dan di sinilah kemuliaan Tuhan dinyatakan!
CATATAN KAKI:
- Lih. Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (San Francisco, USA: Ignatius Press 1996), p.28, “The institution of the most holy Eucharist… is the making of a covenant and as such, is the concrete foundation of the new people: the people comes into being through its covenant relation to God .” [↩]
- Lih. Michael Downey, Understanding Christian Spirituality, (New Jersey, USA: Paulist Press, 1997), p.14 [↩]
- Jordan Aumann, Christian Spirituality in the Catholic Tradition, (USA: Ignatius Press, 1985), p.9 and p.11 “…. Christ is, therefore, the embodiment of authentic spirituality and quite logically, from our point of view the spiritual life must be a participation in the ‘mystery of Christ.’ …..This does not mean, however that we should consider the spiritual life as Christ-centered to such an extent that we should fail to give emphasis to God the Father, God the Holy Spirit,….. but it is only by means of the mystery of God that we can believe fully in the mystery of the Incarnation and, therefore, can understand Jesus Christ…..Consequently, to participate in the mystery of Christ means to share in the selfsame life which animated the God-man, the life which the incarnate Word shares with the Father and the Holy Spirit; and through this life, man is regenerated and elevated to the supernatural order.” [↩]
- Lih. Sacrosanctum Concilium 5, (Dokumen Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci [↩]
- Lih. Scott Hahn, A Father Who Keeps His Promises, (Ann Arbor, Michigan, USA: Servant Publications, 1998), p. 24. “What is exactly a covenant? It comes from the Latin word ‘convenire’, which means ‘to come together’ or to agree; the English term ‘covenant’ involves a formal, solemn and binding pact between two or more parties. Juga Robert A Sungenis, Not by Bread Alone, (California, USA: Queenship Publication, 2000), p.11-12. [↩]
- Lih. Sacrosanctum Concilium 10 [↩]
- Lih. Sacrosanctum Concilium 7. [↩]
- Lih. Redemptor Hominis, (Surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Penyelamat Manusia), 7 [↩]
- Lih. Salfivici Doloris (Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Tentang Arti Kristiani dari Penderitaan Manusia), 24. [↩]
- Lih. Jordan Aumann, Spiritual Theology, (New York, USA: Continuum 1980, reprint 2006), chapter 7. “Something is lacking to the passion of Christ, as St. Paul dared to say (Col 1:24) which must be contributed by the members of Christ cooperating in their own redemption… God accepts the suffering offered to Him by a soul in grace for salvation of another soul or for sinners in general.” [↩]
- Lih. Salfivici Doloris, 29-30. [↩]
- Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Manchester, New Hampshire, USA: Sophia Institute Press, 1960, reprint 2001), p. 31 [↩]
- lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, Q. 161, a.5 ad 2. “…humility is said to be the foundation of the spiritual edifice.” [↩]
- Lih. St Francis de Sales, An Introduction to the Devout Life, (Rockford, Illinois, USA: TAN Books and Publishers, 1994), p.14-15 [↩]
- Lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 77. [↩]
- Cf. St Thomas Aquinas, Summa Theology II-II, Q.23,a.1. “…since there is a communication between man and God, inasmuch as He communicates His happiness to us, some kind of friendship must needs be based on this same communication, of which it is written (1 Cor 1:9): “God is faithful: by Whom you are called unto the fellowship of His Son.” The love which is based on this communication is charity: wherefore it is evident that charity is the friendship of man for God. [↩]
- Lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13, Lumen Gentium 42, Dokumen Vtikan II, Konstitusi tentang Gereja. [↩]
- Lih. Jordan Aumann, Christian Spirituality in the Catholic Tradition, p. 16 [↩]
- Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 102 [↩]
- Lih. Lumen Gentium 40 [↩]
- Lih. Redemptoris Mater, (Surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Bunda Penyelamat), 42 [↩]
- Lih. Sacrosanctum Concilium, 57 [↩]